Selasa, 15 Juni 2010
Dua Ancaman Besar Didalam Diri manusia
Dalam perspektif kaidah luhur , nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah luhur nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.
NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara falsafah luhur diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M-5 ( malima) ; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi.
Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
1.Tapa brata ;
Sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
2.Tapa ngrame;
Adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
3.Tapa mendhem;
Adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri.
Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.
4.Tapa ngeli,
Yaitu menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan
PAMRIH
Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.
Untuk itu penting kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu:
1.Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe;
selalu ingin menangnya sendiri.
2.Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
3.Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe.
Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran luhur sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah;
1. Sembah raga,
2. Sembah cipta,
3. Sembah jiwa,
4. Sembah rasa.
Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.
( Salam : Bocahangon )
Jumat, 11 Juni 2010
ELING & WASPADA
ELING & WASPADA .
Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
1. Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
2. Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.
ELING DIMENSI KEMANUSIAAN
1. Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet.
2. Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.
3. Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.
WASPADA
1. Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.
2. Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.
3. Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.
4. Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.
Esensi dari sikap eling dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana.
Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.
Duh Gusti Ingkang Murbeng Gesang, walaupun tanda-tanda dan bahasa alam telah Engkau tunjukkan bahkan dalam gambaran yang sangat jelas, walaupun terasa suram dan menakutkan menatap kedepan kedepan perkenankan diri ini ndableg tetap memohon-mohon tanpa malu untuk yang kesekian kalinya. Anugerahkan keselamatan, kesehatan, ketentraman, kecukupan rejeki untuk seluruh saudara-saudaraku, sahabatku, seluruh pembaca yang budiman yang sempat mampir ke gubuk ini serta seluruh saudara-saudara sebangsa setanah air, yang beragama, bersuku, ras, bahasa apapun juga, dan di manapun berada.
Orang yang suka menyalahkan orang lain, gemar mencari-cari “kambing hitam”, pada saatnya nanti dalam kesendirian ia menghadapi kekalahan terbesarnya. Dan pada saat itu tiada seorang pun yang peduli lagi dengan dirinya.
Perjuangan hidup di dunia ini, diawali manakal Anda masuk usia aqil-baliq, atau usia pubertas. Dengan asumsi perjuangan hidup manusia ditandai dengan pengendalian mati-matian terhadap gejolak hawa nafsu negatif. Dengan kata lain setan telah mulai bekerja untuk selalu menggoda iman manusia. Namun saya pribadi lebih percaya bahwa setan itu bukanlah makhluk gaib gentayangan, melainkan hawa nafsu negatif kita sendiri. Sekilas pandangan saya tampak kontroversial, namun Anda dapat merenungkan kalimat saya, lihat saja anak kecil atau usia kanak-kanak mengapa tidak diganggu “setan”, tidak lain karena pada usia kanak-kanak hawa nafsu belumlah bekerja sebagaimana manusia dewasa. Meskipun demikian, hawa nafsu ibarat pisau bermata dua, dapat bersifat positif yang lembut namun tiba-tiba bisa berubah menjadi destruktif dan agresor meluluhlantakkan nurani Anda. Namun ia bukanlah sesuatu yang harus Anda musuhi bahkan tidak perlu dilenyapkan dari dalam diri. Bukankah Anda bisa bertahan hidup karena Anda memiliki hawa nafsu biologis dan psikhis. Anda dapat melangsungkan regenerasi berkat jasa si hawa nafsu pula. Hawa nafsu positif telah berjasa membangkitkan hasrat dan keinginan Anda, untuk bangkit dalam semangat menjalani kehidupan yang lebih baik dan mulia. Hanya saja jenis hawa nafsu liar yang tak terkendali (negatif) akan menjadi mesin penghancur sangat dahsyat. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya pengendalian hawa nafsu sebaik-baiknya.
Setelah usia beranjak dewasa, hawa nafsu mulai bekerja sebagaimana mestinya. Lantas Anda akan memiliki banyak kemauan, menginginkan suatu pencapaian (need of achievement) menjadi yang terbaik. Mula-mula Anda tidak puas dengan keadaan hidup ini. Ketidakpuasan akan berdampak menimbulkan berbagai macam hasrat. Hasrat adalah suatu keadaan yang wajar, tanpa hasrat yang cukup besar terhadap kualitas dan kuantitas pencapaian hidup maka tak akan ada motivasi untuk bertindak. Anda dapat membayangkan sendiri apa yang akan terjadi bila tidak melakukan sesuatu apapun dalam kehidupan di planet bumi ini. Anda tidak tumbuh, mandeg, mundur, lalu mengalami kepunahan yang tragis. Dalam tindakan spontan pun di dalamnya ada kehendak bawah sadar, misalnya Anda merasa kantuk lalu ingin tidur. Anda terkejut oleh keberadaan ular berbisa lalu meloncat ketakutan. Kehendak atau hasrat adalah rumus Tuhan, atau hukum alam, sunatullah yang dianugerahkan kepada manusia. Oleh karena itu adanya kehendak atau hasrat merupakan keharusan bagi manusia yang berani hidup (strugle of life).
Dalam level dasar ini, keberhasilan yang Anda raih diakumulasi menjadi semangat yang semakin membara. Semangat yang serempak menggelora dalam diri, meliputi dari dalam hati, pikiran, lalu Anda ikrarkan dengan lantang, selanjutnya Anda wujudkan dalam tindakan nyata. Di satu sisi, hal itu menjadi doa yang tak terucap sepanjang waktu, sepanjang Anda tertantang mewujudkan hasrat. Rasa lapar dan ingin memiliki sesuatu (kebutuhan primer dan sekunder), keduanya menjadi bahan bakar utama dalam mewujudkan kehendak, cita-cita dan harapan. Begitulah Anda telah menuju titik awal yang baik dalam mewujudkan hasrat, keinginan dan harapan. Sampai pada suatu saat Anda benar-benar mendapatkan apa yang Anda inginkan. Maka rasa puas, marem, bangga diri akan dirasakan. Tidak berhenti di situ, selanjutnya Anda tentu ingin mencapai lebih dari pada yang telah Anda dapatkan sekarang.
Keadaan yang kontradiktif ! Dalam tahap keberhasilan ini terkadang Anda justru merasakan sindrom keresahan, kebingungan, menderita, dibanding keadaan sebelumnya semasa dalam ketidak-punyaan. Kekhawatiran akan menjadi semakin besar hanya dengan hanya membayangkan andaikan saja Anda mengalami kejatuhan, kebangkrutan, tertipu, kegagalan, kehilangan harta, sakit berat, kehilangan orang-orang terkasih. Untuk menghilangkan kecemasan yang datang bertubi Anda menyiapkan segala macam sarana pendukung untuk menciptakan ketenangan. Begitulah seterusnya anda berada dalam hegemoni (penguasaan) hasrat anda yang sebenarnya semu bagaikan fatamorgana dan jatuh bangun mengejar bayang-bayang Anda sendiri.
Semua hasrat dan keinginan-keinginan Anda di atas barulah pada tahap paling dasar yakni kebutuhan ragawi. Lantas suatu ketika Anda sungguh menyadari bahwa keberhasilan yang diraih tidak benar-benar membuat tenteram dan bahagia. Anda sadar bahwa apa yang berhasil diraih tidaklah langgeng, kepuasan dan rasa bangga hanyalah bersifat sementara saja. Bersyukurlah Anda bila menyadari sebab musabab kegelisahan, keresahan, dan kekhawatiran Anda. Karena cahaya kebenaran Tuhan telah mulai menerobos ke dalam kesadaran kalbu. Anda menjadi manusia yang sangat beruntung, karena alam menaruh peduli dengan Anda, hukum alam menyadarkan dan membimbing Anda agar supaya beranjak dari pencapaian yang sesungguhnya kecil namun selama ini Anda anggap suatu kesuksesan besar dalam kehidupan Anda. Harta yang melimpah, pasangan hidup yang mengangkat gengsi, tahta dan jabatan yang tinggi, dan gemerlapnya “perhiasan dunia” yang berhasil Anda raih adalah pencapaian atau kesuksesan yang teramat kecil dalam kesejatian hidup. Anda harus segera menyadari, adalah pencapaian yang jauh lebih berharga dalam kehidupan ini, yakni pencapaian kebahagian dan ketenangan batin.
Level kedua di mana Anda tersentak disadarkan oleh suatu peristiwa yang memukul kesadaran Anda sebelumnya. Seringkali terjadi manakala Anda mengalami suatu pengalaman unik (unique experience) atau kejadian yang dramatis dalam kehidupan pribadi. Misalnya Anda kehilangan harta, kebangkrutan ekonomi, kegagalan usaha, kehilangan jabatan, kehilangan orang terdekat yang Anda cintai, gagal dalam persaingan bisnis atau popularitas, dan Anda betul-betul menjadi orang kalah. Semua hal yang selama ini dibanggakan dan diandalkan, dianggap sebagai simbol kekuatan dan kejayaan, kemegahan dan kesuksesan, kehormatan dan kemuliaan, tiba-tiba terjungkir dan Anda betul-betul berada di bawah. Semua itu mengakibatkan Anda mengalami sakit hati yang sangat dalam, merasa terpukul, kehilangan semangat, putus asa, atau kemurkaan yang begitu membakar emosi dst. Setiap manusia suatu ketika pasti mengalami penderitaan ini. Keadaan akan membuat Anda bingung harus berencana dan bertindak bagaimana untuk keluar dari masalah. Anda terperangah lantas mulai meragukan segala ilmu, teori, konsep, kepercayaan, keyakinan yang Anda anut dan andalkan selama ini. Keadaan menjadi anomali, di mana orang merasa kehilangan arah dan pegangan hidup. Anda mulai meninggalkan nilai-nilai lama, sementara nilai baru belumlah Anda patenkan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan yang baru yang betul-betul meyakinkan. Bila Anda mampu bangkit, pertama-tama akan melakukan kontemplasi, otokritik, mawas diri, dan menemukan sesuatu yang salah pada diri Anda sendiri, lantas sesegera me-reset ulang MIND-SET Anda dalam memandang apa arti kehidupan ini. Bagaikan semangat renaissance, kebangkitan kebali ditandai kesadaran untuk memulai suatu perjalanan batin, dengan apa yang dinamakan sebagai “laku prihatin” dapat diakronimkan rasa perih dalam batin. Rasa perih sebagai menjadi titik awal menuju keindahan batin. Sebaliknya, tanda-tanda bila akan tenggelam dalam kegagalan total bilamana Anda gemar menyalahkan orang lain, sibuk mencari-cari “kambing hitam”, giat mencari benarnya sendiri, butuhnya sendiri, menangnya sendiri. Anda enggan mengakui kelemahan diri sendiri, malah kembali menyalahkan nasib terlampau sial. Memang nasib sial datang dari mana ? Dari Tuhankah ? Tidak, Tuhan jangan dijadikan obyek penderita ! Nasib buruk adalah berasal dari kecerobohan diri sendiri. Seyogyanya kegemaran menyalahkan pihak lain segera dihentikan sekarang juga. Karena teramat sangat bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika Anda tak mampu menghentikannya, tunggu saja hingga pada saatnya nanti Anda berada dalam kesendirian, akan menghadapi kekalahan terbesar. Celakanya, pada saat itu tiada seorang pun yang peduli lagi dengan diri Anda.
Kini keadaannya sangat berubah, segala hal yang Anda buru dengan semangat bagai api membara dan disangka sangat membahagiakan mendadak terasa hambar dan kosong. Kehidupan sehari-hari didominasi oleh perasaan akan keadaan yang penuh pahit dan getir. Anda yang ingin bangkit berusaha survival dan mencoba banting stir, perburuan beralih dari mengejar kejayaan dan sesuatu yang membanggakan menuju upaya jujur. Saat itu Anda melangkahkan hati memasuki kerajaan batin yang jauh tersembunyi dalam keheningan batin. Sebagaimana pengetahuan spiritual dan religi yang pernah Anda baca, dengar dan ketahui dari kisah-kisah hidup yang dialami orang lain, dari teman, dari berbagai referensi buku, dan senandung ayat-ayat dalam Kitab Suci. Hidup berubah arah 180 drajat, mungkin bagi orang-orang yang sering berinteraksi, melihat diri Anda mendadak berubah menjadi orang soleh dan tidak mau neko-neko menjalani kehidupan ini.
Di saat anda menelusuri jalan setapak menuju kerajaan batin kadang terhalang oleh suatu kendala paling besar yang justru datang dari dalam diri pribadi. Sebagian orang telah menyangka, sebagian lagi terhenyak saat menyadari betapa diri terlalu lemah, pongah, takabur dan merasa sudah menjadi manusia paling benar, yakin diri sudah menjadi manusia soleh atau solihah. Dalam kesadaran rasio dan batin, seringkali orang merasa mencapai suatu tataran yang tinggi, merasa banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan. Lantas memandang ilmu dan pengalaman orang lain lebih rendah dan kurang bermutu. Selanjutnya muncul sikap suka meremehkan, memandang sebelah mata kemampuan dan pengetahuan orang lain. Berburuk sangka, mudah memfonis secara sepihak atas perbuatan orang lain, dan tergesa mengambil kesimpulan akan suatu wacana. Itulah kelemahan terbesar manusia yakni manakala menghadapi musuh dalam selimut jasad berupa egosentrisme yang erat kaitannya dengan hawa nafsu negatif. Namun suatu ketika perjalanan hidup Anda akan merubah kesadaran rasio dan batin. Lantas Anda merasa malu dan geli menyadari betapa kemarin dan tempo hari kesadaran Anda ternyata sangat dangkal namun justru sering memfonis jalan hidup orang lain sebagai cara yang buruk dan tidak benar. Pada saat kesadaran diri merambah rasio, jika dianalogikan seumpama Anda berada di dalam ruang tanpa cahaya matahari, semua obyek yang ada di dalam ruang tetap tampak jelas dari pandangan mata Anda. Namun pada saat sinar mentari pagi menerobos masuk ke dalam ruangan, dan mendadak Anda menyadari bahwa udara di dalam ruangan penuh dengan butir debu. Dalam sorotan cahaya mentari yang menyibak keremangan itu, Anda melihat butiran debu tampak pekat beterbangan. Lantas Anda bergidik, merasakan berjuta debu masuk ke dalam lubang hidung Anda. Pada saat itu Anda sedang dibangunkan dari ketidaksadaran, ditatap balik oleh ketidakmampuan dan keraguan diri Anda sendiri. Inilah tahap yang memicu revolusi kesadaran, dari kesadaran rasio (akal-budi) beranjak kepada kesadaran batin. Akan tetapi resiko terbesar justru pada tahap ini. Tahap yang penuh marabahaya dan ancaman.
Gerak dari tahap pertama ke tahap kedua terjadi berkat anugrah Tuhan. “Guru sejati” Andalah yang menyadarkan ada apa dengan jati diri atau kepribadian Anda. Tuhan telah menyungkurkan kesadaran Anda ke arah wajah kotor Anda sendiri. Anda barulah menyadari bahwa selama ini ibarat katak dalam tempurung. Ibarat orang buta memegang gajah. Kebenaran dan kebaikan yang Anda ketahui hanyalah parsial, dan Anda telah melakuka kesalahan terbesar dengan berani menyimpukan atau membuat generalisasi sesuatu berdasarkan secuil data yang tidak akurat. Untuk memudahkan saya istilahkan seorang Doktor lulusan SD, Anda pribadilah yang menilai diri sebagai seseorang yang penuh ilmu pengetahuan. Sementara Anda tidak menyadari ternyata orang-orang di sekitar Anda tertawa geli melihat tingkah tak waras tersebut. Selanjutnya tergantung Anda sendiri, apakah akan mampu dan behasil menemukan jalan untuk melanjutkan ke tahap tiga atau tidak. Sangat banyak orang yang akhirnya tertahan berhenti pada tahap kedua ini, menjadi orang-orang kalah, dan hanya menuai keterpurukan hidup semata.
Tak bisa dielakkan, tahap kedua merupakan tahap seleksi yang harus Anda lalui agar dapat masuk ke dalam tahap tiga dan mengalami tingkat keberhasilan lebih tinggi dan murni. Banyak kisah keberhasilan yang diraih oleh orang-orang besar dan populer, yang merupakan keberuntungan sementara saja. Akan tetapi tak ada seorangpun yang meraih keberhasilan sejati dan abadi dengan mewariskan kemajuan dan kebaikan bagi kehidupan seluruh makhluk di dunia ini, tanpa melewati pesimpangan jalan tahap dua. Pada saat ini Anda telah menuju jalan memenuhi takdir Anda, apakah akan tersungkur, ataukah berhasil menggapai kehidupan yang sejati, merdeka dan sejahtera lahir dan batin. Saat itulah Anda sedang duduk di singgasana batin yang menentramkan dan membahagiakan.
Sebagai hukum alam atau rumus Tuhan Yang Maha Agung, bahwa sesuatu yang sudah seharusnya menjadi milik Anda tidak dapat dirampok, ditunda, atau dihentikan orang lain. Anda tahu bahwa sumber keberhasilan Anda tidak tergantung pada orang atau situasi tertentu, tetapi pada diri pribadi Anda. Selama perbuatan-perbuatan tetap sinergis dengan rumus-rumus Tuhan atau harmonis dengan hukum alam, di situlah kemanunggalan Anda yang berada dalam kehendak atau rumus Tuhan, yang akan membawa Anda pada keberhasilan yang sejati. Seumpama Anda menghanyutkan diri ke dalam sungai, maka energi yang mengantarkan Anda menuju samudra keberuntungan bukanlah kehendak Anda, namun energi sungai itu sendiri telah menghanyutkan Anda ke arah yang tepat. Anda menyadari bahwa perbuatan Anda pada waktu yang lalu dan hari ini menjadi faktor penentu untuk nasib kesuksesan Anda di masa yang akan datang. Dalam terminologi Jawa dikenal sebagai tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam “sungai” mengikuti aliran air (kehendak Tuhan) agar dapat bertemu dengan “muara” keberhasilan hidup, lantas masuk ke dalam “samudra” anugrah kemuliaan yang sesungguhnya, meliputi lahir dan batin. Sebaliknya adalah tindakan yang melawan kodrat. Diumpamakan sebagai tindakan “mengikuti air bah”, meninggalkan samudra anugrah dan keberuntangan, menerjang daratan, membuat kerusakan dan merugikan makhluk hidup lainnya.
Hidup bukanlah sesuatu yang bersifat instan, namun memerlukan proses panjang yang menuntut kecermatan (eling & waspada) Anda dalam melangkahkan kaki setapak demi setapak. Agar supaya benar-benar dapat membedakan mana “air-bah” dan mana bukan “air-bah”. Bila pilihan jatuh pada jalan yang tepat, baik dan benar, Anda melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dan selaras dengan “kehendak” Tuhan dan pada gilirannya Anda mengesampingkan hasilnya, waktu demi waktu. Proses jauh lebih penting daripada hasil. Dalam “spiritualitas” sepak bola, dikatakan : yang penting bermain benar dan cantik, soal hasil nomor dua. Proses adalah keutamaan spiritual yang tertanam dalam kerajaan batin, sedangkan skor sebagai hasil akhir adalah materi. Mind set Anda saat ini telah memahami bahwa proses yang baik, tepat dan benar merupakan modal utama. Selanjutnya segala hal yang telah Anda kerjakan pada akhirnya dan sudah pasti akan menghasilkan kesempurnaan material dan spiritual.
Tahap Ini merupakan kehidupan tingkatan lanjut sehingga tampak aneh atau mustahil bagi orang yang masih tertahan di tahap sebelumnya. Tetapi yakinlah bahwa keadaan ini ada pada semua manusia, yang telah mengerjakan perjalanan menuju kerajaan batin. Dan keadaan ini bersemayam dalam jiwa setiap orang. Masihkan Anda menunggu-nunggu mendapat cahaya Tuhan ? Sebagian orang menanti-nanti “uluran tangan” Tuhan, sementara itu tangan Tuhan sudah berada di dalam dada dan batin Anda sendiri. Bila Anda selalu menunggu bola, bisa jadi bola tak kunjung datang sampai ajal menjemput. Cahaya Tuhan tidak untuk dinanti, namun harus dicari. Dan hanya sedikit orang yang berani menjemput cahaya Ilahi yang berada nun jauh di dalam tata ruang batin. Sebagian besar takut akan doktrin-doktrin yang menakut-nakuti Anda. Kekhawatiran akan terjebak ke dalam kesesatan, jatuh ke dalam pelukan setan, dan tercebut ke dalam neraka jahanam dst. Ketakutan dan kekhawatiran yang telah menghegemoni alam bawah sadar Anda. Padahal setan itu tidak lain adalah kiasan dari nafsu negatif Anda sendiri, dan “neraka” sudah ada sejak Anda hidup di dunia ini. Maka, sebelum Anda mengawali perjalanan ke tahap tiga, diperlukan sebuah katarsis, penyucian kehendak, pemrograman ulang akan pola pikir (mind set) terhadap alam bawah sadar. Salam asah asih asuh (sabdalangit)
PRIHATIN adalah kata-kata yg akrab di telinga kita, bahkan saya pernah mendengar kata “prihatin” saban hari selama sebulan. Tapi saya semakin judeg memaknainya. Setelah sekian lama, barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja, karena batin (jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau gue) memuaskan hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya. Apalagi untuk urusan “under stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu dong..). Sebagai rambu-rambu agar supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas kewajaran. Jadi, garis besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar badan/jasad ini selalu berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati (kareping rahsa sejati) yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada kodrat Tuhan). Sehingga kecenderungan nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat negatif nuruti rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan kepada kesucian sang guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang selalu berkeinginan baik (an nafsul mutmainah). Nah, “kekalahan” jasad (bumi) atas jiwa yang suci ini seringkali terasa pedih/gundah/marah di dalam kalbu.
Karena banyaknya pertanyaan mengenai tata cara atau apa yang harus ditempuh dalam mengawali sebuah perjalanan spiritual (laku prihatin) untuk menggapai tataran kesejatian, maka perlu kami paparkan tulisan berikut ini. Seluruh catatan di sini, semua semata-mata sebagai salah satu upaya saya untuk mewujudkan rasa syukur yang paling konkrit kepada Gusti Allah yang sudah menganugrahkan rahmat, kebahagiaan, ketentraman, dan kecukupan pada kami & keluarga. Bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman dan seluruh sahabat handai taulan yang menanyakan bagaimana memulai sebuah “laku” prihatin untuk menggapai spiritualitas sejati, berikut ini yang dapat kami paparkan secara sederhana agar mudah dipahami. Apa yang saya paparkan di bawah ini sekedar contoh langkah-langkah yang saya lakukan selama ini untuk memahami kehidupan sejati dan selanjutnya menggapai kemuliaan hidup.
Terdiri dari 5 jurus atau empat tahapan yakni;
- Nol adalah nihil. Substansi nihil di sini berarti belum ada manifestasi perbuatan konkrit. Masih berupa niat; niat ada dua level yakni; Niat Demi Tuhan, dan Niat Ingsun. Yang pertama menyiratkan pemahaman saya yang belum utuh akan jati diri. Setiap mengikrarkan Demi Tuhan; saya terbayang bahwa perbuatan baik saya tujukan kepada Tuhan, dengan membayangkan Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi kemudian dalam perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa saya lebih merasa mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun lebih pas, karena bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita ? Tuhan (Sifat hakekat) berada dalam JATI DIRI (sifat zat). Maka Ingsun bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku atau Ingsun” merupakan hakekat Tuhan (sifat zat) dalam diri. Aku (manusia) melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan di dalam makhlukNya). Saya temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada sesama itu tidak lain memposisikan diri kita pada jalur “kodrat” Ilahi. Jelasnya menurut pemahaman saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki makna; sebuah ucapan yang keluar dari hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.
- Membersihkan hati; dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak menyenangkan, tetapi selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal, banyak membantu, merasa sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya sebagai cobaan bagi orang-orang beriman. Ini menjadi suatu “kelucuan” hidup yang sering tidak kita sadari.
- Berusaha setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama. Dalam terminologi ajaran Jawa disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4 cara dan tingkatan; yakni (1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah tutur kata/nasehat yg baik dan menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga, (4) dhonodriyah harta. Yang terakhir inilah yang paling sulit dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita lakukan semua kebaikan kepada sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.
- Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa. Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.
- Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.
- Perbanyak bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu membiasakan bersukur TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.
Dalam setiap melakukan amal baik kepada sesama, kita “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima. Selamat menjalankan, dan lihatlah buktinya.
BAGAIMANA HARUS BERSERAH DIRI PADA TUHAN
Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada “aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita sampai pada muara keberuntungan memasuki samodra anugrah Tuhan. Tapi orang kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah” (rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samodra anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya. Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan segala macam tatanan.
Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang (eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama saja membangun sikap FATALISTIS. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan, penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas ihtiar manusia. Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur dan cara-caranya, bukan pada garis nasib. Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan. Bila kita menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang menjadi seteru Tuhan.Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk manusia.
Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan kehendak Tuhan, krn Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.
Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery, penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat, sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib. Kadang dengan didahului oleh kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arh penemuan baru. Dalam bahasa yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami (ILMU LADUNI). Seorang ilmuwan penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan. Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?
Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon). Manakah yang lebih religius ? Mana pula yang sekedar agamis ? Jika kita tetap negatif thinking dan menutup mata, jangan menyalahkan siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu positif thinking (khusnudhon). Sebaliknya, tiada bosan-bosannya mengkritik diri sendiri.
Ajaran Tentang Budi Pekerti Untuk Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah referensi kebudayaan luhur dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Luhur yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Kamis, 10 Juni 2010
Ritual Cinta
Ritual Cinta
Cinta sepasang suami isteri bagaikan pohon yang memerlukan siraman air dan pupuk agar tetap tumbuh sehat dan besar. Tidak layu. Tidak mati. Pupuk dan air bagi pohon cinta itu adalah ritual romantisme. Disebut ritual karena memang harus dilaksanakan dengan tulus sepenuh hati dan secara rutin. Jika ritual-ritual cinta romantis ini dilaksanakan oleh suami isteri sepenuh hati dan rutin, maka Insya Allah akan merengkuh manisnya cinta yang mendalam dan tak terkira nikmatnya. Ritual-ritual cinta ini diajarkan oleh Nabi Muhammad. Bukan hanya seorang nabi utusan Allah, Muhammad juga merupakan seorang suami paling romantis yang pantas dijadikan teladan bagi kita yang ingin meraih cinta sejati. Meraih kebahagiaan akherat dan kebahagiaan dunia.
Kedamian sebuah Negara harus di mulai dari kedamaian dalam rumah tangga. Kalau masing-masing keluarga hidup bahagia , damai dan penuh kasih sayang, pasti masyarakatnya disuatu negeri akan damai. Kalau kasih sayang telah tumbuh di masing-masing setiap rumah tangga pasti akan tumbuh kasih sayang antar masyarakat.
Kalau dalam suatu negeri masing-masing sudah damai, penuh dengan kebahagiaan, penuh cinta kasih . Maka perdamaian dunia akan dapat dicapai dan dirasakan setiap insan didunia ini.Sehingga penduduk di dunia ini akan mersakan ketentraman yang sebenarnya.
Ritual Cinta 1 : Suka tersenyum dan tertawa
Senyum adalah sedekah. Meski sepele, namun seringkali tersenyum menjadi sesuatu yang paling susah. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang serba sulit, kondisi pikiran yang terasa ruwet, pekerjaan kantor yang menumpuk, habis dimarahi atasan, bisnis tidak lancar dan sederet masalah-masalah rutin lainnya. Tips mudah menjadi seorang pecinta yang murah senyum adalah menyadari bahwa hidup tak pernah lepas dari masalah. Masalah takkan pernah selesai sampai kita mati. Jika untuk tersenyum, kita menunggu berada dalam kondisi tidak punya masalah, lalu kapankah kita tersenyum ?. Setelah menyadari ini, tanamkanlah kuat-kuat dalam diri. Bahwa tersenyum dapat mengurangi stress terhadap masalah itu sendiri. Tersenyum merupakan sedekah yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan orang lain. Tersenyum menyenangkan diri dan orang lain. Sebelum melangkah ke halaman rumah kita, hendaklah kita tanggalkan muka masam dan muram durja, lalu digantikan dengan muka manis dan senyum ramah. Bayangkanlah hal ini layaknya kita menanggalkan pakaian kotor untuk diganti dengan pakaian baru yang bersih segar. Senyum membawa hawa dan aura kebaikan yang dapat dirasakan oleh lingkungan sekeliling. Ciptakanlah suasana nyaman dan sejuk dirumah kita dengan banyak tersenyum ramah kepada isteri, anak, tetangga dan lingkungan sekitarnya. Toh, muka masam dan muram durja tidak dapat membantu menyelesaikan masalah bukan ? Bahkan justeru menambah runyam masalah itu sendiri.
Ritual Cinta 2 : Sering Membelai
Membelai adalah bahasa cinta yang nyata. Riil. Langsung terasa. Membuat nyaman hati pasangan. Terkadang belaian lebih ampuh daripada ucapan kata-kata. Terlalu banyak membelai justeru semakin memperdalam perasaan cinta pasangan. Sedangkan terlalu banyak mengeluarkan ucapan kata-kata cinta justeru mendapat julukan ”gombal”. Itulah keampuhan belaian dibandingkan ucapan lisan. Belaian sesungguhnya sebuah kebutuhan seorang pecinta (terutama isteri). Seorang isteri yang kurang mendapatkan belaian cinta yang tulus romantis dari suami seringkali mudah marah. Mudah kesal. Mudah bermuka masam. Kurang tenang. Kurang tenteram. Maka belailah isteri dengan setulus hati. Belailah dengan santun, kalem dan menenangkan. Sebab belaian tulus ini mengandung bahasa cinta ”aku mencintaimu, aku ingin selalu menyenangkanmu, ingin mendampingimu selalu, ingin membuatmu tenteram dan bahagia setiap waktu, ingin meraih indahnya cinta yang diridhoi Ilahi”.
Adalah Rasulullah SAW tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua (isterinya) seorang demi seorang. Beliau menghampiri dan membelai kami dengan tidak mencampuri hingga beliau singgah ke tempat isteri yang beliau giliri waktunya, lalu beliau bermalam di tempatnya (H.R. Ahmad)
Ritual Cinta 3 : Memanggil dengan panggilan mesra
Panggilan mesra merupakan panggilan kesayangan. Merupakan perwujudan kasih sayang yang tersaji dalam frekuensi yang tinggi. Dalam sehari anda mungkin memanggil pasangan anda lebih dari 20 kali. Ini artinya, dalam 20 kali pula anda mengungkapkan rasa sayang melalui panggilan mesra. Panggilan mesra yang baik adalah panggilan yang hanya dimiliki oleh sepasang suami isteri. Artinya, panggilan tersebut tidak diucapkan oleh orang lain. Seperti halnya panggilan Nabi Muhammad kepada Aisyah: si pipi merah delima (si pipi kemerah-merahan). Panggilan ini hanya dimiliki oleh Aisyah dari Nabi. Nabi tidak memanggil orang lain dengan panggilan serupa. Ini menunjukkan kekhususan hubungan perasaan antar keduanya. Sebagai suamipun anda sudah selayaknya memiliki panggilan kesayangan kepada isteri yang hanya anda miliki, yang tidak digunakan oleh orang lain ketika dia memanggil isteri anda. Contohlah Nabi SAW yang memiliki panggilan mesra terhadap isterinya Aisyah, ”si pipi kemerah-merahan” atau ”Aisy”. Panggilan ini khusus panggilan kesayangan nabi, yang tidak dipakai oleh orang lain ketika memanggil Aisyah. r.a. Dengan adanya panggilan mesra (kesayangan) ini, maka hubungan sepasang suami isteri menjadi semakin sakral dan khusus. Menjadikan ikatan hubungan keduanya semakin erat dan mendalam.
Dari Aisyah r.a ia berkata: Saya pernah meminjam sebuah jarum dari Hafshah binti Rawahah yang saya gunakan untuk menjahit pakaian Rasulullah SAW. Jarum itu terjatuh dari tangan saya, lalu saya encarinya, tetapi tidak berhasil mendapatkannya. Tiba-tiba Rasulullah SAW masuk, lalu aku dapat melihat dengan jelas jarum yang terjatuh karena pancaran sinar wajah beliau. Sayapun tertawa, kemudian beliau berkata: wahai si pipi merah delima, mengapa engkau tertawa? Saya menjawab: Saya sedang mengalami begini dan begini. Dengan suaranya yang keras beliaupun berkata: wahai Aisyah, sungguh celaka, sungguh celaka orang yang dijauhkan dari melihat wajah ini. Tak seorangpun mukmin atau kafir melainkan semuanya sangat ingin melihat wajahku ini (H.R. Ibnu ’Asakir)
Sebagian dari kita mungkin merasa enggan, bahkan mungkin ada juga yang merasa jijik jika minum dari gelas atau muk dengan bekas tempat bibir pasangan atau makan pada bekas gigitan isteri. Namun camkanlah, meminum dari bekas tempat bibir pasangan dan makan pada bekas gigitan pasangan merupakan suatu bentuk penghormatan tulus bagi pasangan. Merupakan wujud cinta yang nyata dan didepan mata. Merupakan kebanggaan dan keasyikan bersama. Ritual romatis ini dapat membangkitkan salah satu lembaran perasaan yang terdalam. Menambah kerinduan untuk saling menyentuh dan menyenangkan perasaan pasangan. Sudah sepantasnyalah bagi sepasang suami isteri melaksanakan ritual ini untuk mewujudkan suasana rumah tangga yang penuh mawaddah (kasih sayang) dan romantsi selalu. Jika kita belum mampu melakukannya itu artinya cinta kita masih kalah besar dari ego dan keangkuhan kita sendiri.
Dari Aisyah r.a ia berkata: Saya biasa minum dari muk yang sama ketika haidh, lalu Nabi SAW mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil muk. Lalu saya menghirup isinya, kemudian beliau mengambilnya dari saya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliaupun menghirupnya (H.R. Abdurrazaq dan Sa’id bin Manshur)
Dari Aisyah r.a ia berkata: Ketika sedang haidh aku minum, kemudian muknya aku berikan kepada Nabi SAW, beliau minum pada bagian muk yang tadinya aku pakai minum. Demikian pula waktu aku sedang haidh, aku menggigit sepotong daging, lalu sisa gigitan itu aku berikan kepada Nabi SAW. Beliau tidak segan menggigitnya pada bagian yang tadinya aku gigit (H.R. Nasa’i)
Seorang suami yang memakai wewangian akan semakin menambah kerinduan isteri untuk selalu berada disampingnya. Isteri menyukai untuk terus berdekatan dengan suami. Dalam kondisi harum, suamipun semakin percaya diri dan senang untuk terus mendekati isteri. Memeluknya. Membelainya. Bandingkan jika badan berbau tidak sedap. Isteri akan enggan untuk berdekatan dengan para suami, bukan karena dia tidak cinta, melainkan karena memang tidak seorangpun yang menyukai bau tidak sedap. Dan itu manusiawi. Oleh sebab itu, jadikanlah memakai wewangian ini sebagai ritual untuk memupuk dan memperdalam jalinan cinta kasih suami isteri. Bila perlu komunikasikanlah wewangian apa yang paling disukai isteri. Ini akan semakin membuatnya tergila-gila kepada suami. Nabi mencontohkan memakai wewangian ini dan isteri beliaulah yang mengoleskan minyak wangi ke badan nabi.
Aisyah berkata: Sesungguhnya Nabi SAW apabila meminyaki badannya, beliau mulai dari auratnya dan mengolesinya dengan nurah (sejenis serbuk pewangi) dan isterinya meminyaki bagian lain seluruh tubuhnya. (HR.Ibnu Majah)
Mandi bersama merupakan sebuah ritual cinta romantis suami isteri yang mampu mengokohkan cinta dan menguatkan perasaan satu sama lain. Bagi sepasang suami isteri, mandi bersama dapat memberikan pengalaman keberduaan yang tak terlupakan. Aktifitas mandi bersama juga memberikan nuansa asyik dan unik. Mandi bersama merupakan aktifitas yang khusus bagi sepasang suami isteri, tidak dapat diwakilkan atau digantikan dengan orang lain. Kegiatan ini dapat meningkatkan kuatnya simpul ikatan perasaan antar keduanya. Mandi bersama ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan isterinya Aisyah.
Dari Aisyah r.a., ia berkata: Aku biasa mandi bersama Nabi SAW. Dengan satu bejana. Kami biasa bersama-sama memasukkan tangan kami (kedalam bejana). (H.R. Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah)
Dari Aisyah r.a ia berkata: Aku pernah tidur bersama Rasulullah SAW di atas satu tikar ketika aku sedang haidh. Bila darahku menetes keatas tikar itu, beliau mencucinya pada bagian yang terkena tetesan darah itu dan beliau tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliau sholat di tempat itu pula, lalu beliau berbaring kembali di sisiku. Bila darahku menetes lagi ke tikar itu, beliau mencuci di bagian yang terkena darah itu saja dan tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliaupun sholat diatas tikar itu (H.R. Nasa’i)
Seorang isteri yang bersedia membersihkan (mengerik dan mencucinya dengan tangan) mani dari pakaian suaminya merupakan seorang isteri yang shalihah dan mau berkorban secara nyata demi suaminya. Jadilah isteri yang demikian. Buanglah keangkuhan dan ego anda. Naiklah menuju tingkatan cinta yang lebih tinggi dengan melakukan ritual romantis ini. Mani bukanlah hal yang hina menjijikkan. Mani merupakan cikal bakal kehidupan manusia. Jika anda bersedia melakukan kebiasaan romantis ini maka Insya Allah rasa cinta dan kasih sayang suami kepada anda akan berlipat-lipat tak terkira. Dia akan merasa dihormati, disanjung dan dihargai dengan sebuah penghormatan dan penghargaan yang sangat tinggi. Jangan menjadi isteri yang merasa jijik terhadap kain suami yang terkena mani, lalu dengan angkuhnya menyuruh pembantu mencucinya di mesin cuci. Tentu saja ini akan menyakitkan bagi suami. Suami merasa terlecehkan harga dirinya. Ingatlah bahwa setiap perbuatan baik akan menuai perbuatan baik pula. Begitupun perbuatan jelek, yang nantinya akan menuai perbuatan jelek yang sepadan. Keangkuhan kita kepada dunia akan mengakibatkan dunia angkuh terhadap kita. Kesantunan kita kepada lingkungan, juga akan mengakibatkan lingkungan bersikap santun kepada kita.
Dari Aisyah r.a ia berkata: Saya dahulu pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah dengan akar rumput yang berbau wangi, kemudian beliau pergi untuk melakukan sholat dengan pakaian itu. (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari)
Ritual Cinta 10 : Tidak suka mencela dan menghina
Akhlak seorang suami terhadap isteri atau sebaliknya harus memegang prinsip romantisme menghindari celaan dan hinaan. Jangan pernah mencela. Jangan pernah menghina. Jikalau pasangan melakukan kesalahan, maka ingatkanlah dengan santun dan dengan suara yang penuh welas asih. Bukan dengan suara tinggi. Tidak disertai dengan caci maki. Dan perlu disadari bahwa yang salah adalah perbuatannya, bukan orangnya keseluruhan. Setiap orang pasti pernah melakukan kekeliruan. Termasuk suami atau isteri. Oleh karena itu, ingatkan perbuatannya saja, dengan tanpa mencela dan mencaci orangnya. Celaan selalu membekas di hati. Bagaikan sayatan pisau di permukaan batang pohon. Semakin banyak celaan, maka semakin banyak bekas sayatan yang ada pada batang pohon. Bersikaplah lembut. Seperti do’a yang diucapkan banyak orang kepada anda berdua ketika menikah dulu: ”Allafa baina quluubuhum”. Yang artinya lembutkan hati mereka berdua. Kelembutan atau kekasaran hati ini bersifat imbal balik. Seorang suami yang bersikap kasar terhadap isterinya, akan mengakibatkan isteri juga bersikap kasar dan kurang sopan kepadanya. Begitupun sebaliknya. Sikap lembut suami akan dibalas dengan sikap lembut isteri. Maka dari itu, tuntutlah diri sendiri terlebih dulu untuk bersikap santun dan lembut, maka dunia akan bersikap lembut dan santun kepada anda, Insya Allah.
Aku bertanya kepada pamanku, Hind bin Abi Halah. Ia adalah seorang ahli dalam meriwayatkan (sifat Rasulullah SAW). Aku bertanya: Ceritakanlah kepadaku sifat Rasulullah SAW berbicara? Ia menjawab: Rasulullah SAW adalah seorang yang banyak mengenyam kesusahan. Beliau selalu berpikir, tidak sempat beristirahat santai. Beliau lebih banyak diam (tidak banyak bicara), beliau tiada bicara, kecuali apabila perlu. Membuka dan menutup pembicaraannya dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Isi pembicaraannya padat dengan makna, kata-katanya jelas, tiada yang sia-sia, dan tiada pula yang kurang dipahami. Beliau tiada berlaku kasar dan tiada pernah menghina. Nikmat Allah dibesarkannya walaupun hanya sedikit. Selain itu, beliau tak pernah mencela makanan dan minuman. Juga tidak pernah memujinya (HR. Tirmidzi)